Asal-Usul Putri Junjung Buih | Cerita Rakyat Banjar Kalimantan Selatan.
Tersebutlah
kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan. Kerajaan itu
diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama Patmaraga, atau
diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama Sukmaraga. Kedua raja
tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.
Namun
diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai putera.
Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar dikarunia
sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan oleh para
dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat kota
Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta istrinya
menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar seperti
petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia melahirkan
sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.
Demikian
pula Raja Tua ia berdo’a di Candi Agung, di luar Kota Amuntai. Setelah sekian
lama berdo’a dia pulang ke Amuntai. Dalam perjalanan pulang, dia melewati
sebuah sungai. Tampak olehnya seorang bayi perempuan yang sangat cantik
terapung-apung di atas sungai, tepat di atas buih. Padmaraga menghentikan perjalananya.
Kemudian Raja Tua memerintahkan pada Datuk Pujung
tetua istana untuk mengambil bayi di atas buih tersebut. Raja Tua ingin
menyelamatkan bayi itu dan menjadikannya sebagai anak asuhnya.
Datuk Pujung segera mendekat ke tempat buih
yang di atasnya terbaring bayi perempuan itu. Datuk Pujung berusaha mengambil bayi itu,
tetapi buih bergerak terus mengombang-ambingkan si bayi. Rupanya bayi itu
sangat susah di dekati. Kemudian, Datuk Pujung
terperanjat. Ketika bayi itu berkata bahwa dirinya akan ikut ke istana dengan
Raja Tua asalkan diberi selembar kain dan selimut yang selesai ditenun dalam
waktu setengah hari. Selain itu, bayi tersebut juga ingin dijemput oleh empat
puluh wanita cantik. Permintaan bayi itu disampaikan kepada Raja Tua. Raja Tua
segera memerintahkan untuk mencari empat puluh wanita cantik dan mengumumkan
sayembara untuk menenun kain dan selimut dalam waktu setengah hari.
Banyak yang
mengikuti sayembara, tetapi belum ada yang dapat menyelesaikan tenunan dalam
waktu setengah hari. Sampai kemudiam, datanglah seorang perempuan bernama Ratu
Kuripan. Ratu Kuripan dapat menyelesaikan tugasnya menenun selembar kain dan
selimut dalam waktu setengah hari. Hasilnya pun sangat mengagumkan.
Bayi di atas
buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh Raja Tua. Bayi itu kemudian
dinamai Putri Junjung Buih. Sementara itu, Ratu Kuripan diangkat menjadi
pengasuh Putri Junjung Buih. Ratu Kuripan mengajarkan semua ilmu yang
dimilikinya dan membimbing Putri Junjung Buih hingga dewasa. Karena
kecerdasannya, Putri Junjung Buih tumbuh menjadi putri yang sangat cantik serta
dikaruniai kepandaian yang luar biasa. Raja Tua sangat menyayanginya. Kelak di
kemudian hari, Putri Junjung Buih menjadi panutan rakyat Amuntai dan menikah
dengan pangeran dari karajaan Majapahit. Akhirnya mereka menurunkan raja-raja
yang berkuasa di wilayah Kalimantan.
Cerita
Rakyat dari Kalimantan Selatan yang berjudul Putri Junjung Buih menceritakan tentang asal muasal
kehadiran sang Putri Junjung Buih yang kemudian menjadi anak Raja Amuntai
Kalimantan Selatan.Adat kawin Balangan
GOTONG ROYONG KENTAL PADA PERKAWINAN ADAT BALANGANOleh iwanazha
Suara canda ria terdengar memecah suasana kesunyian dini hari Minggu (15/7)di Desa lampihung Kecamatan lampihong,Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan.
Canda ria tersebut datang dari puluhan pemuda dan orang tua laki-laki di lokasi “pengawahan” (menanak nasi dengan wajan besar) di tempat acara perkawinan adat Kabupaten Balangan di desa tersebut.
Puluhan orang dengan berselimutkan sarung dan berjaket serta menggunakan songkok (kupiah) asyik bercanda ria seraya bersama-sama mengerjakan memasak nasi untuk menyiapkan hidangan perkawinan salah saru warga desa itu akan digelar pada hari Minggu.
Sementara canda ria lain terdengar pula tak jauh dari lokasi itu setelah puluhan orang gadis dan orang tua perempuan secara bersama-sama pula mengerjakan “penyambalan” (membuat sambal dan ramuan ) untuk hidangan acara serupa.
Hidangan yang disediakan pada pesta tersebut memang beraneka ragam, tetapi yang tidak ketinggalan adalah nasi dan “gangan waluh bagarih” (gulai labu campur ikan kering gabus).
Memang begitulah kebiasaan warga di dekat Pegunungan Meratus tersebut saat mengerjakan acara perkawinan, agar acara yang digelar cukup besar itu terasa ringan.
Perkawinan tersebut dilangsungkan oleh Keluarga Armuji setelah putranya Khairudian menyunting gadis di desa lain, kemudian menggelar acara perkawinan di rumah keluarga tersebut.
Menurut, Armuji sendiri, nilai gotong rotong tersebut tidak semata terlihat saat hari pelaksanaan perkawinan saja tetapi jauh-hari hari sudah terlihat begitu kental.
Karena untuk menggelar acara perkawinan adat setempat menelan waktu lama, mulai dari acara “batatampanan” (pinangan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan hingga perta perkawinan sendiri.
Setiap proses perkawinan selalu melibatkan warga untuk selalu bergotong goyong.
Sebagai contoh saja, saat batatampanan biasanya penyelanggara perkawinan menghadirkan para ibu-ibu kedua belah pihak dan saat itu disajikan makanan khas setempat disebut wadai “gayam.”
Untuk membuat penganan itu para ibu-ibu setempat selalu bergotong royong membuatnya.
Kemudian untuk menghadapi pesta perkawinan dengan menghadirkan hidangan yang begitu banyak memerlukan kayu bakar tak sedikit.
Lantaran di kawasan tersebut masih memanfaatkan kayu bakar maka warga pun dengan bergotong royong mencari kayu bakar yang ada di hutan-hutan kemudian dikumpulkan satu per satu sehingga tumpukan kayu bakar menggunung.
Acara mencari kayu bakar bersama-sama tersebut disebut oleh warga setempat dengan “mengayu.” Acara itupun tentu dibarengi dengan makan-makan bersama, seperti nasi campur dengan “garinting” (ikan kering) ditambah sedikit sayuran.
Kemudian juga acara “bakumpulan” (berkumpul) warga desa untuk membahas tugas-tugas yang dieman warga desa saat pesta nanti, ada yang bertugas menunggu tamu, bertugas mencuci piring, bertugas mengawah, bertugas “menggangan” (membuat sayuran berkuah), bertugas menyediakan sajian, bertugas lain-lainnya.
PASAR TERAPUNG
Pasar terapung ini sudah ada lebih dari 400 tahun lalu, dan merupakan sebuah bukti aktivitas jual-beli manusia yang hidup di atas air. Seperti halnya pasar-pasar yang ada di daratan, di atas pasar terapung ini juga dilakukan jual beli barang seperti sayur-mayur, buah-buahan, segala jenis ikan dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya. Pembelian dari tangan pertama disebut dukuh, sedangkan tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan. Di pasar ini, pengunjung dapat menyaksikan transaksi jual-beli yang dilakukan secara tradisional, yaitu dengan cara barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Namun sayang, kondisi aktraktif aktivitas jual-beli di atas perahu tersebut semakin lama semakin pudar pamornya, baik karena jumlah jumlah pedagang yang semakin sedikit, sikap penjual yang tidak lagi cukup bersahabat, ataupun kurangnya dukungan dari pemerintah kota Banjarmasin. Kebijakan pemerintah membangun pasar di darat dekat dengan Pasar Terapung Kuin dan pembangunan ratusan jembatan rendah yang menghalangi akses lalu lintas sungai, baik langsung atau tidak, merupakan salah satu penyebab semakin memudarnya aktivitas jual-beli di floating market ini.
Mengunjungi Pasar Terapung Muara Kuin akan memberikan kenangan tak terlupakan tentang bagaimana masyarakat yang hidup di atas air memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, pengunjung juga akan mengetahui pola transaksi jual-beli yang telah berumur lebih dari 400 tahun. Oleh karena pasar ini telah menjadi saksi bisu perjalanan aktivitas ekonomi masyarakat Kalimantan Selatan, muncul pameo belum ke Banjarmasin jika belum mengunjungi Floating Market Muara Kuin.
Suasana berdesak-desakan antara perahu besar di pasar terapung ini cukup unik dan khas. Para pengemudi jukung dengan mahirnya mengayuh dan mengejar pembeli atau penjual yang berseliweran kian kemari dan perahu mereka kerap oleng dimainkan gelombang Sungai Barito. Bagi wisatawan yang datang dari kota-kota besar, akan merasakan sensasi tersendiri ketika mengamati pedagang wanita dengan topi lebarnya berperahu menjual hasil kebun atau makanan olahannya sendiri.
Pasar terapung tidak memiliki organisasi seperti pada pasar di daratan, sehingga tidak tercatat berapa jumlah pedagang dan pengunjung, pembagian pedagang berdasarkan barang dagangan, dan tempat berjualan yang selalu berpindah-pindah.
Bagi pengunjung yang hanya ingin bersantai, bisa menikmati secangkir teh atau kopi, plus makanan/kue khas Banjar, sembari menikmati goyangan ombak yang menerpa klotok yang ditumpangi. Pengunjung juga dapat menyaksikan rumah-rumah terapung (Rumah Lanting) yang berada di sepanjang pinggiran sungai.
Pasar Terapung Muara Kuin terletak di aliran sungai Barito, tepatnya di muara Sungai Kuin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Bajarmasin, Kalimantan Selatan.
Jika berangkat dari pusat kota Banjarmasin dengan menggunakan perahu mesin atau yang biasa disebut klotok, diperlukan waktu sekitar 45 menit untuk menuju pasar yang berada di aliran Sungai Barito tersebut. Jika ingin lebih cepat sampai, pengunjung dapat menggunakan angkutan darat dengan menempuh rute Kota Banjarmasin-desa Alalak. Dari desa Alalak menuju lokasi Pasar Terapung yang jaraknya tidak begitu jauh pengunjung bisa mencarter klotok dengan harga Rp 70 ribu (tergantung bisa tidaknya pencarter malakukan tawar menawar). Dengan menyewa klotok, pengunjung tidak hanya bisa menyaksikan aktivitas di floating market tetapi juga bakal diajak berwisata ke Pulau Kembang (sumb.wisata melayu)
Candi Agung Amuntai merupakan sebuah situs candi Hindu peninggalan Kerajaan Nagaradhipa (Nagara Dipa). Candi Agung Amuntai terdapat di Desa Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Candi Agung Amuntai dibangun oleh Ampu
Jatmaka (Ampu Jatmika) abad ke-14. Menurut Hikayat Banjar, Ampu Jatmika
berasal dari Keling. Ia tiba di tanah Banjar bersama armada Prabayaksa,
sekitar tahun 1355 . Veerbek berpendapat bahwa Keling, yang termasuk
kerajaan vasal dari Majapahit, terletak di barat daya Kediri, bukan Kalingga di
India. Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung
Malaysia (401 dan 435), menulis bahwa Ampu Jatmika mendirikan Nagaradhipa pada
1387 dan berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmaka menjabat sebagai mantri
sakai di Nagaradhipa, bukan sebagai raja Nagaradhipa. Hal ini terjadi, seperti
telah disinggung di atas, karena Ampu Jatmika bukan keturunan bangsawan dan
bukan pula keturunan raja Kuripan (kerajaan sebelum era Nagaradhipa). Dengan
begitu, Ampu Jatmaka diperkirakan hanya sebagai Penjabat Raja atau Pemangku
Kerajaan.
Menurut cerita, Kerajaan Hindu Nagaradhipa
berdiri pada 1438 di persimpangan tiga aliran sungai: Tabalong, Balangan, dan
Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar ini diperintah oleh Pangeran Suryanata dan
Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Mangkubumi (Patih) Lambung
Mangkurat. Negaradhipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai.
Candi Agung diperkirakan telah berusia 740 tahun.
Bahan material Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu. Kondisinya masih
sangat kokoh. Di candi ini juga ditemukan beberapa benda peninggalan sejarah
yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun SM. Batu yang digunakan untuk
mendirikan candi ini pun masih terdapat di sana. Batunya sekilas mirip sekali
dengan batu bata merah. Namun bila disentuh terdapat perbedaannya, lebih berat
dan lebih kuat dari bata merah biasa.
Banyak pengunjung yang datang ke Candi Agung
Amuntai untuk sekadar berekreasi. Banyak pula yang bertujuan ziarah. Maklum di
areal candi ini terdapat makam kuno. Kalau Anda ke Kota Amuntai, luangkan waktu
untuk melihat candi ini. Meski berbeda dengan candi yang ada di Jawa, namun
keberadaannya jelas memberikan informasi tentang keberadaan candi di
Kalimantan.
bukti peninggalan perjuangan warga Balangan melawan
Belanda
Dari sekian banyak peninggalan sejarah perjuangan
warga Balangan
salah satunya yaitu Tugu Pudak.
Tugu Pudak ini berada didaerah Pudak Kec. Awayan, tugu
ini merupakan salah satu bangunan yang didirikan oleh para pejuang sebagai
bukti kemenangan melawan para penjajah Belanda. Nama para pejuang yaitu sebagai
berikut:
1. H.Husin
2. Bakeri
3. Udan
4. Mandur
5. Turi
Tugu itu didirikan pada tahun 2000M , jadi sampai
tahun 2014 ini umur tugu tersebut sudah 14 tahun. Tugu itu masih ada sampai
sekarang tapi sayangnya warga didaerah
tersebut tidak merawatnya lagi sehingga banyak rerumputan yang tumbuh
disekitarnya.
Bagi para penduduk didaerah tersebut cerita tentang
keberadaan tugu ini tidak asing lagi karena masih banyak tetuha yang mengetahui
tentang sejarah dibangunnya tugu Pudak tersebut. Bukti sejarah perjuangan Tugu
Pudak tersebut hingga kini masih tetap dikenang walau saat ini tugu itu tidak
terawat, namun apa yang dilakukan para pejuang akan selalu dikenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar